Saturday, July 10, 2010

Perjalananku sebelum menemuiNya

Annisa, begitulah sapaanku sehari-hari. Aku adalah gadis belia yang berumur kurang beberapa bulan menuju 17 tahun. Begitu banyak pelajaran kehidupan yang telah aku dapati selama ini. Aku hidup dalam keluarga yang demokratis namun terkadang berubah haluan menjadi radikal dimana iya adalah iya dan tidak adalah tidak. Tidak boleh menentang. Ayah dan ibu adalah orang tua yang tegas dan sangat menyayangi anak-anaknya. Begitu pula dengan saudara perempuanku. Dia lah yang selama ini mendengarkan keluh kesahku dan senantiasa memberikan nasehat ketika aku terlena dengan pesona dunia. Diusiaku kini, aku mengecap pendidikan disalah satu sekolah yang dianggap sebagai sekolah unggulan. Unggul dari segi otoriter dan pengusa yang tak mengenal rakyat. Ironis memang, setelah dua tahun aku mengetahui unek-unek yang dipancarkan sekolah itu.

Di sana, aku diberikan kesempatan untuk mencicipi kelas yang juga notabenenya unggulan. Di kelas itu, aku bertemu dengan manusia-manusia yang mengajarkanku makna sebuah kedewasaan. Mengenal mereka membuatku dewasa sebelum waktunya. Aku lebih sering bermain dengan perasaan dan otak ketika bersenda gurau, jalan-jalan, belajar, dan lain sebagainya bersama mereka. Dari sanalah kehidupanku sedikit menunjukkan perubahan. Aku yang ketika SMP dikenal egois, kompor, kepala batu, mulut pisau, pelit, dan sifat brutal lainnya mendadak menjadi manusia yang melewati batas sifat melankolis sempurna.

Yaa..itulah sedikit petikan riwayat tentang hidupku. Kini saatnya ku mulai menuliskan setiap kata tentang tragedi yang membuat sebuah kepompong tidak akan pernah menjadi kupu-kupu yang indah. .

---

Kejadian itu berawal ketika aku hendak pulang sekolah. Sewaktu itu, aku memilih untuk menaiki angkutan umum. Ketika mobil tepat berada dipersimpangan jalan menuju rumah, aku menyetopnya dengan suara yang lumayan menyentakkan pak supir. Sewaktu akan turun, ntah apa yang terlintas di pikiranku tiba-tiba kepalaku terbentur hebat oleh pintu mobil. Benturan itu sempat membuatku tidak sadarkan diri beberapa saat sebelum sempat membayar ongkos. Di jalan menuju rumah, kepalaku berdenyut dengan irama kacau. Darah seperti mengetok-ngetok meninges untuk lari dari peredaran. Namun untunglah Allah tidak menghendaki terjadinya pendarahan saat itu. Ku relakan hari itu berlalu dengan mengistirahatkan otakku seharian.

Tragedi di angkot itu ku jadikan angin lalu. Tak perlu ada yang tau. Aku merasa itu hanyalah perkara spele. Siapa pun pasti pernah mengalami.

---

Beberapa bulan berikutnya, aku mengalami peristiwa yang sama. Terbentur pintu angkutan umum. Hatiku ingin sekali berteriak tentang apa yang kurasakan. Allah sepertI sedang menyadarkanku makna dari sebuah kesalahan yang aku sendiri tidak sadar telah melakukannya.

Saat itu juga ku kumandangakan istighfar berkali-kali. Aku yakin ini tidak akan terjadi selain dosa yang telah kuperbuat. Ya Allah,, ingatkanlah aku terhadap dosa yang menyebabkan aku terbentur lagi kali ini.

Air mataku tiba-tiba menetes tanpa kupaksakan. Seolah-olah hari itu adalah hari paling sial. Namun hal itu segera ditepis oleh otak kecilku yang masih menyimpan sebuah memori ketika kakak menasehati “Tidak ada hari yang sial. Semua hari itu sama. Istighfarlah. Hal yang menimpa dirimu tidak akan terjadi selain kamu melakukan sebuah kesalahan yang menyebabkan Allah mengujimu, sayang. Jangan pernah lagi mengatakan hari itu sial. Allah Yang Maha sempurna telah menciptakan hari sedemikian rupa supaya manusia bisa mengambil pelajaran”. Begitulah nasihat kakak yang menutup pikiranku rapat-rapat tehadap kesialan.

Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju rumah dan mengistirahatkan tubuhku sejenak sebelum adzan berkumandang.

---

Peristiwa itu lagi-lagi ku abaikan. Hari demi hari setelah kejadian itu berlalu, aku merasakan ada hal yang berubah. Ya..benar!! Ingatanku semakin lama semakin menunjukkan ketidakmampuannya menyimpan byte-byte memori. Awalnya aku merasa itu hal yang biasa karena faktor umur. Namun semakin berlalunya hari, aku semakin khawatir dengan kondisi kepalaku. Aku yang biasanya mampu belajar dua belas jam tanpa ada efek samping, kali ini selama enam jam saja sudah tak sangup. Aku merasa ada denyutan ganas yang bermain dengan otakku. Tiap sebentar, pusing pun ikut menggerogoti. Berat. Semakin berat. Namun aku bukanlah terserang penyakit hidrosefalus yang membuat kepalaku benar-benar berat dan sulit untuk diangkat.

Karena tidak tertahankan, aku berniat untuk memberitahukan hal itu pada ibu. Tapi, aku takut. Takut merepotkan beliau untuk ribuan kali. Kerjaanku hanya menyusahkan beliau. Hal itu segera kutepis. Terlintas di benakku untuk memberitahukan pada kakak atau ayah. Namun, jika kuberitahu, pastilah seisi rumah tidak ada yang melirik. Mereka pasti beranggapan ‘itu hanya sebuah benturan’. Memang benar itu benturan. Tapi apakah tidak berbahaya bila benturan itu sudah sering terulang? Aku hanya bisa mengusap dada menahan rahasia ini. Ya Allah,, jika ini adalah sebuah penyakit penawar dosa, bantulah aku untuk ikhlas ya Rabb.

Sebualan telah berlalu. Serpihan kejadian masih tertinggal dibenakku. Aku selalu berdoa agar hari-hari yang kulalui selalu dapat memberikan manfaat.

---

Tibalah pada suatu hari yang mengguncang perasaanku dengan hebat. Hari itu sepulang sekolah, feelingku merasakan hawa yang tidak mengenakkan. Aku bertanya kepada ibu apakah disekitar sini ada warga yang meninggal atau tertimpa musibah. Biasanya, perasaan seperti ini kerap kali timbul tatkala ada orang yang meninggal. Untuk itulah aku bertanya pada ibu. Namun ibu mengatakan tidak ada. Lantas, perasaan apa yang sedang bergelut dengan ku ini? Ya Allah, engkau yang Maha Tahu segala yang gaib, berilah hamba petunjuk atas perasaan yang tidak menentu ini.

Sungguh di luar perkiraan, saat itu juga sebuah benda asing dari atas lemari menimpaku yang sedang membuatkan kopi untuk ayah. Benda berbeban setengah kilo yang terbuat dari besi dengan panjang sekitar 50 sentimeter baru saja mendarat di kepalaku. Pekikan suara yang luar biasa keluar dari mulutku. Semua organ-organ pun ikut bersorak. Darah yang ada di otak, tidak segan-segan mengalir dengan derasnya. semua tenaga terkuras habis menahan rasa sakit yang begitu hebat. Seumur hidup tidak pernah kurasakan sakit yang demikian.

Segera ku selesaikan kopi untuk ayah dengan langkah terbata-bata. Sambil berjalan ke kamarku yang tidak jauh dari dapur, mataku menitikkan air mata kesakitan dengan tangan tetap menekan bagian kepala yang sakit.

Kakak yang melihatku bertanya, “kamu menangis?”. “iya”, jawabku singkat. “ceritakan pada kakak apa yang membuat menangis”. “hanya hal spele”. “tidak bolehkah kakak tahu awan apa yang menghujani pipimu?”, kakak bersikeras ingin tahu apa yang terjadi padaku. Aku pun tidak punya alasan untuk menolaknya, “nngg..nngg..benda dari atas lemari baru saja menimpaku, kak”. “oh adikku,,,peluklah aku”. Aku menangis sejadi-jadinya dan mengungkapkan semua perasaanku. “Kak, apakah hal itu bisa menyebabkan pendarahan? Apakah aku akan hilang ingatan? Apakah kemampuan inteligenku akan menurun? Apakah, aku akan kehilangan semuanya?” “Hussh....Jangan pertanyakan hal-hal negatif. Jadikan saja semuanya positif. Coba diingat apakah ada perbuatan dosa yang baru saja kamu lakukan?” “Kepalaku berdenyut untuk mengingatnya, kak. Ini sudah kesekian kalinya aku terbentur benda keras. Aku takut terjadi apa-apa dengan kepalaku. Belakangan ini daya ingatku sudah mulai menurun. Kepalaku sering menunjukkan respon kesakitan. Ketika aku ada masalah, kepalaku terasa berat untuk memikirkannya”. Kakak pun berusaha menenangkanku, “sudahlah. Tetap tenang dan berfikir positif. Sekarang lebih baik kamu istirahat. Bangunlah tengah malam. Sang pemilik Cinta akan menunggu keluh kesahmu”. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab, “ baiklah kak. Tapi tolong jangan ceritakan hal ini pada ibu dan ayah ya. Biarkan aku yang memberitahukan pada mereka”. “baiklah”

Percakapan antara aku dan kakak, membuatku sedikit lebih tenang. Kakak selalu membuatku bangkit ketika aku terjatuh. Aku sangat menyayanginya meskipun hatinya selalu tersakiti olehku.

Aku segera merebahkan tubuh di atas kasur. Menutup rapat mataku dengan harapan malam nanti bisa terbangun di pangkuan Illahi dan menceritakan semua apa yang kurasakan.

---

Tiga minggu berlalu. Aku benar-benar merasakan perubahan drastis yang ditunjukkan oleh sistem saraf pusatku. Daya ingat. Yaa... daya ingatku sekarang menjadi shortmemory. Aku sering lupa apa yang dipesankan oleh ibu padaku. Aku juga lupa apa yang telah diajarkan guruku, apa yang baru diceritakan teman padaku, bahkan aku lupa apa yang sudah aku lakukan. Ini sangat menyiksaku. Pekerjaanku sering berantakan sekarang. Belum lagi ketika harus mengikuti postest. Tapi, aku masih beruntung karena soal tahun ini berupa objektif. Jika soal ditawarkan dalam bentuk essay mungkin aku akan mati sebelum perang.

Tidak hanya itu, kepalaku juga sering sakit dan pusing. Saat menuliskan sesuatu, aku sering mengalami kesalahan. Otakku tidak sejalan dengan tangan yang digunakan untuk menulis. Ketika aku memikirkan sebuah huruf yang ingin ditulis, tanganku sering melakukan kesalahan dalam menuliskan hurufnya. Hal yang sama juga terjadi saat aku mengetik di komputer. Entah karena ada hurufnya yang tertinggal, kelebihan, ataupun tidak tertuliskan. Saat berbicara dan membaca Al-Quran pun juga demikian. Ketika aku memikirkan suatu hal untuk diucapkan, yang terucap justru kata-kata diluar yang aku pikirkan. Semuanya terasa aneh. Aku mulai sedikit khawatir. Sejak terbentur waktu itu, aku tidak merasakan kondisi tubuhku terkendali dengan normal.

Kali ini aku benar-benar berniat memberitahukan pada ibu keadaanku yang sesungguhnya. Aku tidak ingin menyimpan lebih lama lagi maslah ini. Sambil menyusun kalimat yang pas untuk diucapkan, segera ku temui ibu yang terlihat santai di ruang tengah. “ibu, akhir-akhir ini kepalaku sering sakit semenjak terbentur oleh benda asing dari atas lemari tempo lalu. Aku takut kalau terjadi apa-apa denganku, bu”. “ah kamu yang benar saja, nak. Mana mungkin karena terbentur kamu akan terkena kanker otak atau penyakit otak lainnya. Jangan berbicara seperti itu. Suatu saat perkataanmu akan menjadi pisau yang siap menusukmu”, ibu hanya menjawab santai. “aku serius, ibu. Bagaimana kalau kita periksa saja? Kalau perlu kita ke Luar Negeri untuk General Check Up”, tepisku mantap. “kamu pikir itu gampang. General check up bukan hal yang main-main, nak”. “aku tahu, bu. tapi apa yang harus dilakukan? Tiap sebentar aku merasakan hal yang aneh diotakku”. “tidak ada yang perlu dilakukan. Percayalah..kamu akan baik-baik saja. Mohon kepada Allah untuk senantiasa melindungimu dari marabahaya”. “tapi bu...tidakkah ibu khawatir dengan keadaanku?”. “sudahlah, nak. Lebih baik kamu istirahat. Bukankah besok kamu harus bangun lebih awal?”, ibu mencoba untuk tidak menganggap serius kalimat-kalimatku. “baiklah jika itu pendapat ibu”.

Hasil yang didapat dari percakapan itu sudah kuduga. Ibu menganggap spele apa yang aku rasakan. Melihat keadaan demikian, aku memutuskan untuk mengecek sendiri kondisi kesehatanku kepada dokter ahli saraf yang lumayan ku kenal.

Besoknya aku mengunjungi dokter tersebut dan menceritakan panjang lebar keluhan demi keluhan hingga akhirnya proses pemeriksaan pun berlangsung. Aku disuruh menunggu satu minggu untuk melihat hasil pemeriksaan yang bagiku seperti menungu rapor hitam. Sangat mengerikan.

---

Satu minggu ku lalui dengan tingkah laku yang aneh. Pertukaran hari rasanya menghilangkan satu kesempatanku untuk hidup. Tapi itu bukan berarti aku harus bermanja-manja dan memanfaatkan kondisiku untuk bersantai-santai ria.

Hari ini adalah hari yang menentukan. Apa pun hasilnya aku harus siap. Aku menyempatkan diri untuk berdoa sebelum kaki ini melangkah mengambil hasil tes yang ku anggap sebagai rapor hitam.

“Ya Allah, jika hasil tes nya positif, jangan biarkan sedikitpun ada rasa sombong dan ria dihati ini. Tapi yang ada hanyalah rasa syukur padaMu yang telah memberiku nikmat sehat yang tidak bisa aku ganti dengan apapun. Namun, jika hasil tesnya negatif, jangan biarkan sedikitpun ada rasa sedih dihati ini yang membuatku mengeluarkan air mata. Tapi yang ada hanyalah rasa ikhlas dan syukur padaMu karena engkau telah memberiku sakit sebagai jalan untuk semakin dekat kepadaMu”. Usai berdoa, ku mantapkan hati untuk menuju ke tempat itu.

Tiba di sana, keberuntungan segera menaungiku. Aku dapat giliran masuk duluan tanpa perlu mengantri terlebih dahulu. Perlahan-lahan kubuka pintu ruangan dokter. Dengan kaki gemetar dan badan panas dingin, ku raih kursi tepat di depan dokter itu duduk. “bagaimana hasilnya, dok?”. “hmm..saudari Annisa, anda tahukan bahwa Allah menciptakan manusia untuk beribadah hanya kepadaNya. Dan tentulah semua ibadah itu akan dimintai pertanggungjawaban. Orang yang cerdas, adalah orang yang selalu mengingat kematian. Makanya, ia berusaha untuk memperbaiki setiap amal ibadahnya yang akan ia pertanggungjawabkan kelak karena ia tidak tahu kapan Sang Pemlik Nyawa akan memanggilnya”. “apa maksud anda, dok?”. “yaa..setiap orang pasti akan mati, bukan”. “iya. Tentu saja”, jawabku tegas. “namun tidak seorangpun yang tahu kapan ia akan mati”, jawaban sang dokter semakin membuatku bingung. “iya benar sekali. Lalu?”. “jika hasil tes ini membawa anda untuk segera menemui Allah, apakah anda siap?”. “sebenarnya, ibadah yang saya lakukan belum sempurna. Saya masih sering menyakiti hati orang lain, durhaka kepada orang yang sudah membesarkan dan mendidik saya, belum sepenuhnya menepati amanah, serta masih sering ghibah dan bid’ah tanpa saya sadari. Namun, jika hasil tes itu masih menyisakan sedikit waktu bagi saya untuk memperbaiki ibadah tersebut, kenapa tidak. Justru pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya yang sangat saya dambakan”. “baiklah kalau begitu. Sebelumnya saya minta maaf karena sebagai seorang dokter seharusnya saya bisa menyembuhkan pasiennya. Namun untuk kasus yang satu ini, memohonlah keajaiban dari Allah”. “apakah saya terkena penyakit yang mematikan, dok?”. “benar. Anda mengidap penyakit kanker otak”. “benarkah?”, tagasku memastikan. “iya. tapi tenanglah. Kuasa Illahi tidak ada yang bisa menduga. Jika kali ini saya bisa katakan umur anda tidak lama lagi, hal itu tidak ada yang bisa memastikan. Sejujurnya berat bagi saya untuk memberitahukan hal ini kenapa anda”. “tidak apa-apa, dok. Justru berita ini membuat saya semakin kuat. Yaaa saya tahu ini memang berat bagi saya. Tapi saya tidak akan menangisinya karena saya sudah meminta kepada Allah untuk diberikan kekuatan”. “subhanallah..luar biasa, nak. Anda sangat tegar sekali. Jarang ada pasien saya yang sekuat anda. Mungkin inilah yang disebut kekuatan doa dan ikhlas”. “ini semua tidak akan terjadi tanpa izinNya, dok. Hmmm....dok..” “iya, ada apa?” “apakah benturan itu ada hubugannya dengan penyakit saya ini?”. “hmm..sebenarnya tidak ada benturan yang membuat seseorang samapi terkena penyakit kanker otak. Menurul hasil pemeriksaan, anda telah lama mengidap penyakit kanker otak. Namun akibat benturan yang terlalu sering, mengakibatkan aktifitas kankernya semakin aktif karena terjadi goncangan hebat disekitar sel-sel kanker”. “lalu apakah keluhan-keluhan saya selama ini, merupakan bagian dari efek kanker tersebut?”. “ya. Tepat sekali. Anda akan bertemu dengan efek-efek lainnya setelah ini. Anda harus tetap tegar. Jadi perbanyaklah doa agar keajaiban itu benar-benar datang”. “InsyaAllah, dok. Terima kasih atas semua. Tolong rahasiakan hal ini dari siapa pun ya, dok. Saya pamit dulu, assalamu’alaikum”. “wa’alaikumusalam”

Ntah hawa apa yang sedang bermain dengan hatiku. Ntah batyangan siapa yang sedang menari-nari dibenakku. Tapi itulah kenyataannya. Sebuah penyakit yang sama sekali belum pernah aku pelajari sedikitpun. Penyakit yang cepat atau lambat akan membunuhku. Penyakit yang siapa pun mengidapnya akan putus asa dengan sisa usia. Penyakit yang menghantu-hantui si penderita dengan efek yang ganas. Penyakit yang merobek semua tinta impian yang telah digoreskan dan yang paling penting penyakit yang mulai detik ini akan menjadi sahabatku.

---

Kehidupanku mulai berubah semenjak divonis. Aku mulai menata kembali setiap sikap yang pantas untuk diperlihatkan. Aku tidak ingin menorehkan luka di hati orang-orang yang kusayangi diakhir hidupku. Yaa... aku tahu cepat atau lambat aku akan segera pergi. Untuk itu aku berusaha untuk memberikan yang terbaik meski kondisi tubuhku tidak lagi sempurna. Aku akan mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan siapapun termasuk kakak yang sangat aku sayangi. Aku harus bisa. Tidak akan kubiarkan mereka menangisi dan selalu mengingatku ketika aku telah tiada. Masalah harapan ayah yang ingin melihatku menjadi seorang dokter, aku akan berusaha untuk meraihnya sampai dimana aku diberi kesempatan untuk hidup. Untuk teman dan sahabat-sahabatku, aku akan coba mematri kembali sifat dan tingkah laku baikku agar tidak menyakiti dan membuat kalian muak denganku. Aku sangat menyayangi kalian semua. Tapi aku tidak boleh cengeng dan menyerah. Walaupun penyakit ini merangkulku, jiwa dan ragaku akan mencari cara untuk berpegang pada impian.

---

Setahun setelah aku menerima hasil pemeriksaan itu, aku masih tetap beraktifitas layaknya orang normal meskipun kepalaku sering sakit, lemah, mati rasa pada lengan dan kaki, sedikit kesulitan dalam berjalan, perubahan abnormal pada penglihatan, kepribadian, ingatan, dan sedikit sulit dalam berbicara. Itu semua kulakukan agar tidak ada yang sadar bahwa aku sedang sakit. Sedih juga rasanya menyimpan berita ini sendiri. Setiap hari kulihat ayah yang semakin berharap padaku tentang impiannya. Kulihat ibu yang masih membutuhkan bantuan dan senantiasa mau menemaninya. Kulihat pula kakak yang tidak pernah berhenti memberiku nasihat untuk semakin dekat denganNya. Kulihat teman-teman yang selalu berusaha untuk kompak dan saling berbagi suka dan duka. Kulihat para tetangga yang tidak pernah absen menyapaku. Dan kulihat pula seorang laki-laki yang kuharap bisa menjadi imamku, berjuang untuk kesuksesannya. Ya Allah, hidupku benar-benar berubah sekarang. Jujur, aku sangat meridukan kedekatan bersama mereka, tertawa bersama, dan menikmati hidup dengan penuh semangat. Namun, apalah dayaku.

Duhai Sang Pemilik Cinta, izinkan aku untuk menjadi seseorang yang berarti bagi mereka. Aku ingin kepompong yang tidak akan pernah menjadi kupu-kupu yang cantik ini masih bisa tetap tersenyum hingga akhir hayatnya.

---

Hari ini rasanya berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Entah mengapa usai sholat subuh, aku terlihat letih sekali. Badanku gemetaran karena kedinginan. Kepalaku semakin sakit. Nampaknya hari ini aku tidak bisa masuk sekolah. Aku segera menghubungi temanku melalui pesan singkat. Isinya tidak panjang. Hanya permohonan izin biasa karena aku sedang tidak enak badan dan tidak lupa kusampaikan permohonan maaf kepada seluruh teman-temanku. Selesai ku mengirim pesan singkat itu, ku temui ibu yang berada di dapur.

Di saat itu sempat terjadi perbincangan sederhana. “ibu, kenapa hari ini masaknya banyak sekali? Apakah keluarga besar kita ingin berkunjung?”. “tidak ada. Ini ibu buatkan khusus untukmu. Ibu tidak tahu kenapa rasanya ibu ingin sekali kamu mencoba masakan spesial dari ibu”. “benarkah? Waaahh...pasti enak, bu. Oia bu, hari ini aku tidak masuk sekolah karena aku kurang fit. Tapi ibu jangan khawatir”. “kamu sakit, nak?”. “ng..ng..cuma sakit biasa, bu”. “oh..ya sudah kalau begitu. Kamu istirahat saja dulu. Nanti kalau sudah masak, ibu beri tahu”. “baiklah, bu”.....

Sambil berjalan menuju kamar, tiba-tiba kakak memanggilku. “Annisa!!”. “iya. Ada apa kak?” “kakak ingin memberimu,,, eh tunggu dulu. Ada apa dengan wajahmu? Kenapa terlihat pucat sekali?” “ngg..ngg..tidak ada apa-apa kak. Mungkin karena kurang tidur. Makanya terlihat pucat”. “tapi pucatnya berbeda”. “tenang saja kak. Aku hanya sakit kepala”. “oohh begitu..kakak doakan semoga kamu cepat sembuh ya”. “makasih ya, kak. Aku ke kamar dulu ya”. “ya.baiklah”.....

Kepalaku semakin berat. Aku ingin menjerit sekuat tenaga namun takut orang rumah akan curiga. Yang bisa kulakukan hanyalah berdzikir dan berdoa di atas tempat tidur sambil berbaring.

Aku merasa tidak mungkin untuk banyak beraktifitas. Aku berusaha untuk memejamkan mata, namun sangatlah sulit. Aku tidak bisa tidur. Ada yang mengganjal di hati ini. Seperti merasakan sebuah akhir kehidupan. Paradigma itu segera kubuang jauh dari pikiranku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Melihat kondisi kamarku yang masih belum rapi, aku berniat untuk membersihkannya. Takut jika ada orang yang berkunjung nanti melihat kondisi kamar yang berantakkan. Selesai merapikan kamar, adzan ashar segera berkumandang. Aku kuatkan diri ini untuk bisa memenuhi panggilan Allah saat itu. Setelah menunaikan shalat, terbesit di hati ini untuk melihat pemandangan sore hari di luar rumah bersama teman-teman. Aku menghubungi mereka satu persatu untuk mau menemaniku. Syukurlah, mereka bisa menemaniku hari ini.

Aku memilih pantai sebagai tempat kesukaanku saat melihat pemandangan. Sesampainya di pantai yang letaknya tidak jauh dari rumah, aku dengan iseng bertanya, “teman, jika ini adalah hari terakhir kalian, apa yang akan kalian lakukan?”. “hmm..kalau aku akan memperbanyak amal ibadah. Soalnya, ibadahku masih kacau dan belum maksimal”. “kalau aku, akan memeluk erat orang yang aku sayang dan mati dipangkuannya”. “hmm..kalau aku tidak muluk-muluk. Paling hanya bisa pasrah pada takdir”. “kalau kamu sendiri?” “ngg...entahlah”. “kenapa?”. “aku tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi aku takut berpisah dengan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku. Namun di sisi lain justru aku sangat menginginkan kematianku dipercepat”. “benarkah? alasannya?”. “tidak panjang. Hanya saja, aku ingin segera bertemu dengan Sang Pemilik Cinta”. “subhanallah... luar biasa!! Aku saja belum sempat memikirkan sejauh itu”. “hmm..mungkin karena aku sudah tahu bahwa aku akan mati”. “mati? Maksudnya?”. “ngg...ngg...tidak. tidak ada apa-apa. Eh, sebentar lagi adzan maghrib. Kita pulang sekarang ya!”. “ya. Ide bagus”. “oh iya, terima kasih ya karena kalian telah bersedia menemaniku. Ini suatu kepuasan tersendiri bagiku. Aku minta maaf atas semua kesalahanku ya”. “ah..kamu ini bicara apa sih? Seperti baru mengenal kami. Tentu saja kami akan memaafkan kesalahanmu”. “terima kasih ya teman-teman”. “iya sama-sama. Yuk pulang!”

Aku dan teman-teman segera menuju rumah masing-masing. Aku yang berada tidak jauh dari lokasi, memilih untuk pulang berjalan kaki. Memang tidak gampang memilih berjalan kaki dengan kondisi yang tidak normal seperti ini. Tapi aku tetap paksakan walau organ-organ di tubuhku berteriak meminta jatah istirahat.

---

Sesampai di rumah, suara adzan maghrib berkumandang. Sesegera mungkin aku mengambil wudhu dan menunaikan sholat. Selepas sholat, ibu memanggilku untuk bergabung bersama ayah dan kakak mencicipi menu spesial yang dibuat ibu. Aku yang tidak bisa duduk tenang saat itu, memecah keheningan yang terjadi saat makan malam berlangsung. “waahh masakan ibu kali ini paling enak. Aku jadi ingin nambah”. “kamu bisa saja, nak”. “memang benar, bu. hmm..oia yah,, bolehkah aku bertanya?”. “tentu. Soal apa?” “hmm...yah, apa ayah masih menginginkan aku menjadi seorang dokter?”. “itu hanya impian ayah saja, nak. Jika kamu tidak ingin menjadi dokter, itu tidak masalah. Yang terpenting kamu bisa bahagia dengan pilihanmu”. “ayah yakin? Bukankah ayah yang selama ini memintaku untuk menjadi seorang dokter sesuai impian ayah?”. “kenapa tidak. Ayah sadar kamu bukan anak kecil ayah lagi. Sekarang kamu sudah dewasa. Ayah hanya bisa memberikan saran. Selebihnya itu terserah kamu. Kamu yang tahu minat dan bakatmu dimana”. “tapi yah,, jika aku tidak memilih apa-apa, apa ayah akan marah?”. “tidak ada alasan bagi ayah untuk marah. Keberhasilan datangnya dari kemauan bukan paksaan”. ”benarkah? terima kasih ya, yah. Aku bersyukur mempunyai orang tua seperti ayah dan ibu. Maafkan aku karena sering menyakiti ayah dan ibu”. “orang tua akan selalu memaafkan kesalahan anaknya”. “hmm..kak, aku juga minta maaf ya. Selama ini aku sering membuat kakak jengkel dan marah”. “waaahh...seperti lebaran saja ada acara maaf-maafan. Iya...tentu saja kakak maafkan, adikku.” Senyuman terindah ku torehkan saat itu. Aku ingin selalu dapat menikmati suasana bahagia seperti itu. Walau aku tahu itu sangatlah tidak mungkin.

---

Saat sedang bersenda gurau dengan keluarga, tib-tiba kepalaku menunjukkan respon negatif. Sakitnya semakin menjadi-jadi. Aku putuskan untuk istirahat lebih awal. Namun, sebelumnya ku sempatkan untuk menunaikan shalat isya.

Sakit kepala ini benar-benar membuatku ingin pingsan. Sebelum istirahat, aku menitipkan pesan kepada kakak. “kak, nampaknya aku butuh istirahat yang cukup lama. Aku tidur lebih awal ya, kak. Tolong bangunkan aku jam 3 nanti malam”. “iya. Baiklah. Jangan lupa berdzikir dulu sebelum tidur” “iya..hmm..kak,,,”. “ada apa?”. “bolehkah aku memelukmu sebelum aku tidur?”. “tentu saja. Hmm..hari ini kamu terlihat aneh ya. Kamu baik-baik saja kan?”. “hanya kelihatannya saja, kak. Tidak usah dipikirkan. Aku istirahat dulu ya”. “ya sudah. Ayo istirahat sana”.

Pelukan hangat dari kakak, telah mewakili seluruh perasaanku hari ini. Aku merasa menjadi orang yang paling bahagia meski berada dibawah penyakit yang mematikan. Ntah sampai kapan aku diberi kesempatan untuk bisa bernafas. Yang terpenting dari semuanya, aku harus mempersiapkan amalan yang akan aku pertanggungjawabkan sebelum kematian itu benar-benar datang. Aku tidak boleh lalai dan bermain-main lagi. Karena kematian itu adalah gaib. Tidak ada yang tahu kapan dia akan menemui ku. Bisa jadi lusa ataupun detik ini.

Sampai disini ceritaku untuk hari ini. Jika esok aku masih terbangun, aku akan menuliskan setiap kegiatan yang kulakukan untuk menjadi kenang-kenangan hingga batas kepergianku . . .


-THE END-

created by : *annisanicedream

4 comments:

Satria Jaya Perkasa said...
This comment has been removed by the author.
Satria Jaya Perkasa said...

Subhanallah..
Ceritanya bgus put..
^_^
Menyentuh..
,,
Delisa jilid dua nh
hehe
tw kan put Delisa??

Annisanicedream said...

putri tau kok Delisa.. hehehe
ceritanya masih kurang kuat jak..
masih berantakan struktur penulisan dan bahasa..
soalnya cerita ini udah lama ditulis..jadi masih amatiran hhahha

makasih atas komennya jaka :)
datang lagi yaaa

Satria Jaya Perkasa said...

Hehehe..
Iyaaa..
Edit ajaa
trus terbitkann
^_^
..
Sama2 put..
ini udah datang
hehe

Post a Comment

 
;